Skip to main content

Kisah menyentuh hati kehidupan dua istri satu rumah Part 07

Kisah menyentuh hati kehidupan dua istri satu rumah adalah cerita fiksi yang ditulisan secara bersambung dengan tema berbagi suami menceritakan cerita kehidupan poligami dari istri yang rela di madu.

Dan kisah menyentuh hati kehidupan dua istri satu rumah adalah bagian ke tujuh cerita bersambung berbagi suami, bagaimana kisah seorang istri yang dimadu dalam cerbung ini?

Apakah bercerita seperti cerita sedih istri yang dimadu atau berkisah seperti kisah nyata poligami yang mengharukan, selengkapnya disimak saja cerbung Berbagi Suami Part 07 berikut ini.

Berbagi Suami Part 07 Author : Ersu Ruang Sunyi

Derai airmata membasahi pipi mengalir bagai lahar dingin tak bertepi bagai sajak elegi menyayat hati ucapannya bagaikan dentuman atom bom Hiroshima! yang terlontar dari bibir manisnya Ibundanya Sakila.

Entah kemana perginya rasa yang selama ini menghuni relung asa, kini hanya sayatan-sayatan kecil yang menghujam.

Aku sungguh menyayangi Sakila, tapi kenapa balasannya seperti ini, kutempatan ia di kamar utama rumahku, keberikan suamiku 90% padanya kini. Masih kurangkah pengorbananku?. Apa harus ibunya memperjelas jika aku ini mandul? Harusnya tidak perlu bukan? Kuratapi nasib diri.

***

Mas Ilham masuk ke kamar ia nampak lelah. Tak seperti biasanya ia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Kutatap wajah yang begitu lesu itu, kuhampiri ia, kipijat kepalanya.

"Sayang, tadi Bundanya Sakila datang ke sini ya?" tanya Mas Ilham, sambil menggenggam tanganku.

"Em ... iya yank," jawabku, sambil memalingkan pandanganku ke jendela.

Berbagi suami 06

"Lama?'

"Lumayan."

"Sama siapa aja ke sininya?"

"Sendiri," jawabku

Mas Ilham seperti menyadari ada sesuatu yang terjadi, ia bangun dari tidurnya, lalu membingkai kedua pipiku dengan kedua tangannya.

"Mata kamu kenapa? Kok sembab?"

"Gak apa-apa kok yank, tadi abis beresin lemari, jadi kelilipan," jawabku.

"Sayang, yank ... sayang!" seru Sakila dari luar pintu kamar.

Aku dan Mas Ilham pun bergegas ke pintu.

"Sayang, kata Bundaku dua atau tiga hari sebelum masa menstruasi itu adalah waktu yang subur, jadi malam ini kamu tidur di kamar bawah ya," ajak Sakila.

"Tapi kan malam ini Mas bagian di Davira," seru Mas Ilham.

"Ih kamu ini, katanya mau buru-buru momong bayi, masa di masa subur kamu malah mau tidur bersama Yunda Davira yang sama sekali tidak bisa punya anak!" hardik Sakila.

"Cukup! kamu tidak pantas berkata begitu kepada Davira!"hardik balik Mas Ilham kepada Sakila, yang seketika Sakila langsung terdiam. Dan terlihat dari sudut matanya menahan bulir bening.

"Yank, kenapa nada bicara kamu setinggi itu, ayo minta maaf sama Sakila," bujukku kepada Mas Ilham.

Mas Ilham tak bergeming, aku menghampiri dan memeluk Sakila yang tengah nangis karena di bentak keras oleh mas Ilham.

Kenapa nampak rumit? baru kali ini aku melihat Mas Ilham marah besar, karena selama aku menikah dengan mas Ilham, tak pernah sekalipun ia marah seperti ini.

Berbagi suami 05

"Sudah ... sudah ... jangan menangis lagi, mas Ilham tidak marah kok, ia hanya sedikit kelelahan di kantornya, jadi ia tidak bisa kontrol emosi," bujukku agar Sakila tidak berlarut.

Kuajak Sakila turun dan ke kamarnya. Perlahan aku menenangkan Sakila, kuyakinkan ia, jika malam ini dan besok pun mas Ilham tidur di kamarnya. Sakila akhirnya berhenti menangis setelah benar-benar kuyakinkan, aku pun keluar dari kamar Sakila menuju ke kamarku di lantai dua.

Sejenak aku terpaku depan pintu kamar ketika kulihat Mas Ilham merenung sambil memegang kepalanya.

"Yank, temani Sakila malam ini," pintaku lirih.

"Aku lelah yank, aku ingin istirahat di sini," jawabnya, sambil membalikkan badan membelakangiku.

Tidak mungkin kubiarkan Mas Ilham tidur di kamarku, bagaimana dengan Sakila jika Mas Ilham kekeh ingin tidur di sini? Setidaknya aku harus bicara perlahan ke Mas Ilham, agar ia pindah tidur di kamar bawah. Dengan susah payah aku membujuk Mas Ilham akhirnya ia mau juga turun untuk tidur di bawah.

***

Hari berlalu, minggu berganti, aku selalu mengalah demi Sakila, entah dari hal terkecil hingga yang terbesar. Kutepis segala penyakit hati, dan selalu kudoakan agar Sakila segera hamil. Aku pun selalu mencoba untuk lebih dewasa walau usiaku sama Sakila sama.

Ya, Sakila selalu ingin menjadi yang utama, dan selalu ingin di utamakan oleh Mas Ilham, ada kalanya ia berpura-pura sakit untuk mendapatkan perhatian lebih dari Mas Ilham. Seperti pagi ini, ketika Mas Ilham akan mengantarku ke rumah orang tuaku, tiba-tiba ia berkata jika kepalanya sakit. Aku pun tak ingin masalah semakin panjang, aku pergi sendiri dengan menyetir mobil.

Berbagi suami 04

Getir bukan? Ketika seseorang yang kita kasih hati minta jantung. Tapi inilah hidup, selalu ada luka liku dengan segala misterinya. Aku selalu ingin terlihat baik-baik saja di depan orang lain, aku tak ingin jika orang tuaku tahu jika putri mereka bersedih hati. Jangan berkata kenapa aku selalu bertahan, karena bagiku tak ingin ada perceraian. Biarkan aku terluka selama aku tak melukai hati dan perasaan siapapun.

***

Aku sampai di rumah orang tuaku yang menyimpan segudang kerinduan. Desir angin membelai lembut.

"Assalamualaikum."

"Wa'allaikumsalam."

"Maaf telat Umi."

"Mana Ilham?" tanya Umi.

"Mas Ilham, di rumah, karena Sakila tidak enak badan," jawabku sambil masuk, dan di sambut oleh Risa dan Rio.

Ayah mengajakku bertemu sahabat lamanya yang tinggal di turki. Karena ia lagi berkunjung ke Indonesia. Tepatnya ia juga orang Indonesia yang pindah ke Turki, aku pun lupa-lupa ingat dengan orang tersebut karena ketika ia pindah usiaku saat itu baru 8 tahun.

"Jidan, putri kecilmu ini sungguh cantik luar dalam," gurau sahabat Ayah.

Aku tersipu malu ketika sahabat Ayah berkata seperti itu.

"Siapa dulu donk Abi sama Umi nya," jawab Ayah sambil dibarengi tertawa.

Kamipun mengobrol panjang lebar, sambil makan di restaurant tersebut. Sahabat Ayah pun bercerita tentang putranya, yang dulu sahabat kecilku, aku sedikit lupa dengan orangnya tapi masih ingat dengan namanya, Alex. Dulu ia anak yang pendiam dan sedikit jahil hanya itu yang kuingat tentangnya.

"Om, Alex nya tidak ikut ke Indonesia?" tanyaku.

"Ikut, dia lagi berkunjung ke ibunya, nanti ia akan kesini menyusul," jawab Om Afan.

Ya, Alex adalah anak yang break home. Dan ia ikut dengan Ayahnya yang menikah lagi sama perempuan asal Turki.

"Alex sini," panggil Om Afan kepada Alex yang baru tiba.

Alex menghampiri dengan sikap dinginnya, tak jauh beda dari dulu ternyata masih dingin sedingin es. Ia mengulurkan tangannya sambil membuang muka.

"Wah Alex kini jauh lebih tampan," sapa Ayahku terhadapnya.

"Masih bisa berbicara bahasa Indonesia?" tanya Ibuku kepada Alex.

"Bisa Tante,'' jawab Alex simple.

"Kak Alex cakep banget, seperti selebgram yang sering kulihat," seru Risa sambil salaman.

Em .... Alex canggung atau apa ya? dia tidak banyak bicara, namun ia asyik dengan kamera dan handphone nya. Ayah pun serius berbincang dengan Om Afan.

Aku pun pindah ke meja sebelah karena Om Afan merok0k, jujur aku tidak tahan dengan asap rok0k.

Berbagi suami 03

"Kamu si cengeng itu kan?" tanya Alex, menghampiriku.

"Aku?" tanyaku, terkejut akhirnya ia bicara juga.

"Ia kamu. Boneka yang dulu kucuri masih kusimpan di kamarku,'' tutur Alex yang membuat aku mengerutkan kedua alis.

"Boneka? Barbie ...?"

"Iya."

"Kapan ngambilnya? Waktu itu aku mencari kemana-mana tapi tidak ketemu, sampai Umi belikan yang baru, tapi aku tidak mau yang baru karena itu satu-satunya boneka kesayanganku," terangku.

Ternyata baru kutahu jika Alex yang mengambil bonekaku selama ini.

"Sudah lama aku menunggu waktu seperti ini, ada yang ingin kusampaikan sama kamu," ucap Alex.

"Apa?" tanyaku.

"Aku ... Menyukai kamu dari kecil hingga detik ini. Maukah menikah denganku?" celetuk Alex yang membuatku serasa di sambar halilintar.

Handphone ku tiba-tiba berdering. Kulihat Mas Ilham menelpon ku. Aku meminta ijin untuk mengangkat telepon dulu kepada Alex, aku pun tak menunggu ia mengiyakan.

"Assalamualaikum, yank," sapaku

Mas Ilham kala itu memberi tahu jika ia akan pergi mengantar Sakila arisan bersama teman-temannya. Padahal kan sebelum aku berangkat katanya ia tidak enak badan. Ya sudahlah.

"Iya yank, tidak apa-apa, aku pun pulangnya agak sorean, wa'allaikumsalam," ucapku sambil menutup telepon.

"Yank? kamu sudah punya pacar?" tanya Alex sambil mengerutkan kedua alisnya.

"Aku sudah menikah, sudah punya suami," tegasku yang membuat wajah Alex tiba-tiba memerah.

Bersambung ke Ketegaran hati seorang Istri yang rela dipoligami