Menyesal setelah kehilangan ibu (fatamorgana cinta part 16)
Sekeras apapun hati seseorang pasti akan menyesal dan terpukul setelah kehilangan ibu, seperti dalam cerbung fatamorgana cinta episode 16.
Kehilang orang yang dicintai menyadarkan prilaku salah dalam hidupnya, yah itulah cerita penyesalan selalu datang belakangan kalau didepan namanya pendaftaran hehe. Di bagian ini hikmah kematian orang tua membuat penyesalan mendalam seorang lelaki.
Fatamorgana_Cinta Part 16 Author : Ersu Ruang Sunyi
Siang ini gue yang dengan keadaan kacau setelah di tinggal oleh perempuan yang melahirkan gue untuk selamanya.
Di tengah perjalanan gue melihat Embun merentangkan tangan di tengah jalan. Motor gue mengerem mendadak, hampir saja sedikit lagi menabraknya.
Embun memohon kepada gue untuk mengantarnya pulang. Dan gue melihat si brengsek Rizkian menarik-narik tangan Embun. Sudah gue pastikan jika mereka berdua sedang bertengkar.
Tanpa membuka helm gue memberikan helm yang gue bawa kepada Embun, lalu gadis itupun naik ke sepeda motor. Gue melirik ke arah Rizkian yang meminta Embun untuk tidak pergi. Selama di perjalanan gue hanya diam, hanya mengamati embun dari kaca spion. Tak terlihat dengan jelas raut wajahnya seperti apa, tapi kuyakin saat ini perasaan nya sedang hancur.
Sudah cukup jauh motor melaju. Embun menepuk pundakku dan meminta berhenti. Ia pun turun dari motor dan memberikan selembar uang berwarna biru, dia pikir gue ini abang-abang ojeg kali ya? sudah begitu helm gue gak dia lepas, tetap ia pakai sambil dia berlalu.
Gue segera turun dari motor dan diam-diam mengikutinya.
"Helmnya! Gue juga bukan ojeg kali! Nih duit Lo!" Segera kuberikan duit yang tadi ia berikan."
Ketika ia membuka helm terlihat matanya yang sembab. Ada yang tergores di dalam sini, kala melihat bulir bening luruh dari kedua bola matanya.
"Satu lagi, ngapain Lo menangisi lelaki pembunuh itu?" lanjut gue.
Tapi tatapan Embun sepertinya tidak terima ketika gue bilang begitu.
"Lo masih saja ya dari dulu sampai sekarang gak pernah berubah!" hardiknya sambil berlari ke pinggir danau.
Apa ada yang salah dengan perkataan gue?
Ah, bodohnya gue, selama hidup gue, selalu saja membuat kaum hawa menangis. Termasuk wanita yang melahirkan gue, hingga ajalnya menjemput gue tak pernah membuat sekalipun ia tersenyum. Dan kali ini, hari ini gue lah yang menangis karena kehilangannya.
Gue berjalan, mendekati Embun yang tengah duduk.
"Nih pakai aja helmnya."
Embun sedikit mendongak, dan nampak terkejut melihatku.
"Sudah, kalau mau menangis, menangis aja yang kencang. Biar semuanya plong. Biar gak malu di lihat orang nih pakai helmnya." Gue memasangkan helm di kepalanya.
"Menangis aja lagi, gue gak denger kok."
Gadis itu pun iya menangis sejadi-jadinya.
Hari yang mulia beranjak senja. Suasana taman pinggir danau pun semakin rame oleh pengunjung. Dan ada seorang ibu yang lewat bersama anaknya yang masih kecil melihat ke arahku dan Embun.
"Eh Mas, kenapa pacarnya menangis? Jangan menyakiti perempuan dong kasian."
"A-anu Bu, dia itu menangi ...."
"Oh pasti kamu hamilin kan?" potong ibu tersebut.
Lah gue pacarnya juga bukan.
"Enggak Bu, duh kok jadi runyam begini sih," gerutu gue.
Kalau sudah positif hamil mending di nikahi aja mas," lanjut ibu tersebut sambil berlalu.
"Gila itu ibu-ibu masa ngira gue hamilin anak orang!"
"Terimakasih ya."
Ucapan itu membuatku sedikit merasa bersalah. Bayangan sekian tahun silam di saat gue lagi sedikit khilaf muncul di kelopak mata dan pikiran.
"Maafkan gue yang dulu ya," ucapan itu tak kusadari terucap dari bibirku, yang berasal dari dasar hati.
Embun malah mendongak menatapku. Ada debaran aneh yang kurasakan di saat Embun menatapku kian dalam.
"Maksudnya?" tanya nya heran.
"Bukan apa-apa, gue balik ya." Gue tinggalkan Embun yang tak lagi terlihat sesedih sebelumnya.
Jiwa gue kini benar-benar hampa. Tak lagi ada nyokap yang setiap saat bawel kepada gue, yang bertanya dari mana, mau kemana? Sudah makan atau belum? Ah, hari ini gue untuk pertama kalinya merasa kehilangan.
Sampai ke rumah gue sudah di hadapkan dengan wasiat dari nyokap. Hotel miliknya nyokap meminta agar gue melanjutkannya setelah ia tiada. Suka gak suka gue harus jalanin.
***
Pagi ini untuk pertama kalinya gue bertandang ke hotel sebagai pemilik hotel tersebut. Dan ada tamu yang memang menyewa hotel untuk keperluan foto prewedding dan untuk spot lukis.
Brian.
Gue sempat terkejut melihat tunangan Brian yang mirip dengan Maria, tetapi nyatanya itu adalah Celine.
Gue lebih terkejut lagi karena Embun ada di hotel gue. Entah kenapa ada yang berdebar di dalam sini, ketika aku menatap gadis itu. Ia yang pergi ke mini market kuikuti.
Entah kenapa jiwa gue ingin gadis itu menyukai gue, dan tanpa di rencanakan gue menyuruh seseorang untuk menjambret tasnya, dan biar gue datang menjadi penolongnya. Jahat? Tentu bagi gue tidak. Cinta bisa menjadikan orang baik menjadi jahat begitupun sebaliknya.
Benar saja, gue kali ini datang sebagai penyelamat, walau tidak ada kata-kata manis yang keluar dari bibirnya, setidaknya gue sudah menjadi suferhero bagi Embun.
Ketika ia berjalan dengan sangat cepat, gue juga mengikutinya dengan cepat pula, mungkin dia menyadari jika kuikuti. Tubuhnya yang ramping seketika melayang akan terjatuh ke lantai, gue pun dengan gesit menangkapnya.
"Farel!" pekiknya sambil mendorong dan melepaskan tangannya.
Gue berharapnya akan seperti adegan di film-film atau pun di drama Korea seperti yang di ceritakan oleh emak-emak, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, dia menghardikku dengan keras.
Setelah cekcok dia pun berlalu pergi.
***
Siang menjelang gue di panggil oleh salah satu tamu yang bernama Brian. Ada Embun di sana, sepertinya Tuhan kali ini berada di pihak gue, lihat wajahnya yang menggemaskan itu. Kalian pasti tidak akan bisa membayangkan betapa menggemaskan wajahnya Embun. Sesekali ia mencuri pandang mungkin kini ia tertarik kepada gue.
Dan sialnya gue, kenapa gak menyadari dari sebelumnya betapa anggunnya gadis itu. Kenapa dulu gue tolol banget, demi taruhan hampir saja menghancurkan masa depannya. Apa ini yang di sebut hukum alam? Gue sepertinya benar-benar menyukai gadis itu.
Setelah selesai makan siang gue melihat proses Arga melukis. Sempat mengobrol dengan Embun yang bertanya tentang Celine yang mirip Maria.
Memang mirip dengan Maria tetapi sepertinya itu bukanlah Maria.
Ketika sudah selesai proses melukis. Celine dan Brian yang ingin melihat hasil lukisan Arga, mereka berdua pun berjalan menghampiri Arga. Celine yang berjalan lebih dulu, entah tersandung atau kepeleset, gue gak begitu merhatiin dari awal, tapi tahu-tahu Celine terjatuh dan dengan refleks Arga menangkap Celine.
"Kamu tidak apa-apa Maria?" tanya Arga yang membuat gue menaikan sebelah alis gue.
"Maria?" tanya Celine sambil memegang kepalanya.
"Sayang kamu gak apa-apa?" tanya Brian sambil menghampiri kekasihnya itu.
"Kamu siapa?" tanya Celine.
"Aku Brian, kamu jangan bercanda ih gak lucu," sela Brian.
Celine mendongak ke wajah Arga lalu melirik ke kanvas.
"Arga, kenapa ada aku sama orang itu di kanvas?" tanya Celine.
Celine mengambil kuas yang berada tak jauh dari kanvas lalu mencoret wajah Brian yang nampak sempurna di atas kanvas tersebut.
"Sayang kenapa kamu mencoret nya? Celine!" Brian memegang tangan Celine.
"Aku bukan Celine, aku Maria!" pekiknya.
Gue dan Embun bengong begitu pun dengan Arga.
"Kamu itu Celine calon istriku. Jika kamu tidak percaya ini kamu lihat semua ini, kita sudah hidup bersama selama dua tahun lebih, semenjak aku menemukan kamu di saat kecelakaan waktu itu,"
Panjang lebar Brian berbicara dan membuka video video di channel YouTube nya
Terlihat wajah Arga begitu terpukul melihat semua itu.
"Tidak, tidak mungkin! Tidak mungkin aku hidup bersama tanpa ikatan pernikahan dengan kamu orang yang tak kukenal!" Hardik Maria.
"Kita saling mengenal, dan kamu adalah Celine kekasihku, tunanganku, calon istriku. Bahkan kita tidak hanya tinggal bersama, kita sudah seperti suami istri."
Brian memeluk Celine alias Maria.
"Maaf, aku salah selama ini berjuang mati-matian demi kamu. Merubah nasibku, agar bisa di terima oleh keluargamu, tapi nyatanya kamu seperti itu. Lukisan itu tak perlu di bayar, anggap saja hadiah dariku untukmu; Maria."
Arga mengemasi semua barang-barangnya lalu ia pergi tanpa menghiraukan apapun.
"Arga! Aku mencintaimu Arga."
Maria mengejar Arga.
"Sayang kamu ini apa-apaan siapa dia?"
Brian menarik tangan Maria, dan menghentikan Maria yang tengah mengejar Arga.
"Kamu yang siapa? Kenapa kamu merenggut ke bahagiaanku? Kenapa kamu menghancurkan mimpiku untuk hidup bersama dengan Arga?"
Maria mengepiskan tangan Brian.
"Aku tidak merenggut kebahagiaan mu, aku tidak menghancurkan mimpimu. Kamu pun begitu bahagia selama ini tinggal bersamaku."
"Kamu keterlaluan Maria! Selama ini kak Arga melalui hal-hal sulit dan berjuang demi kamu! Kamu menghilang begitu saja, tak ada kabar. Tahu-tahu nya kamu kini menghancurkan hatinya kak Arga!"
Embun menghardik Maria, lalu lari menyusul Arga.
Gue yang dari tadi diam, segera mengejar Embun yang lari.
Terlihat Embun kebingungan mencari Arga.
"Mungkin dia sudah pergi."
Gue menarik tangan Embun.
"Lepaskan."
"Jika tidak, mau apa?"
Gue mendekati wajahnya yang kini mulai merona.
"Menghajarmu!" Pekiknya.
Sikutnya mengenai perutku yang terasa sedikit sakit.
Awww.
"Ufz, so-sorry kamu gak apa-apa kan."
Terlihat jelas, wajah khawatir nya.
Gue yang tidak apa-apa, kenapa malah ingin terlihat lebih kesakitan di hadapannya.
"Duuh, sepertinya ulu hatiku, kena sikutmu yang tajam itu." Gue meringis.
Dan sepertinya strategi gue berhasil, lihat saja wajahnya begitu cemas dan ketakutan. Gue segera berjongkok sambil memegang perut sekitar ulu hati, dan berakting jika gue lagi kesakitan.
"Maafkan aku, sungguh gak sengaja, kita ke dokter aja ya."
Embun memegang bahuku dengan refleks nya.
"tidak usah." Gue segera menolaknya emang gue gak apa-apa.
Wajah Embun yang natural dengan jarak yang cukup dekat, membuat gue ingin menyentuh pipinya yang merah merona itu.
Entah setan apa yang berbisik di telinga gue sehingga tangan gue menyentuh wajah Embun.
Dreeeeet.
Gawai embun berdering. Mengacaukan suasana. Ia segera mengambil benda pipih itu dari tasnya. Ia hanya menatap layar gawainya.
"Kenapa gak di angkat?" Tanyaku
"Bukan urusanmu."
Embun segera memasukkan kembali gawainya.
Ia pun berdiri, tetapi tangannya gue tarik.
"Biar kuantar pulang."
Tanpa menunggu jawabannya, gue tarik tangannya menuju mobil, dan membukakan pintu untuknya.
Tanpa penolakan Embun langsung duduk manis di mobil gue. Untuk pertama kalinya gue harus mengatur ritme jantung gue yang berdebar kencang.
Setelah mengstater mobil, melaju dengan kecepatan sedang. Gue bingung mau bicara apa.
Hening.
Hanya detak jantung gue yang terdengar kencang.
Srrrttt.
Mobil gue tiba-tiba oleng, gue memarkir di pinggir jalan untuk melihat ada apa dengan ban mobilnya.
"Sial!" gerutuku kesal.
Ban mobilnya ternyata pecah, dengan paku yang menancap, sepertinya ada yang sengaja menyebar ranjau.
"Kenapa?" tanya Embun sambil keluar dari dalam mobil.
"Bannya pecah," jawabku sambil menatap lekat wajah cantik itu.
Terdengar beberapa kali gawai milik Embun berdering tapi gadis itu mengabaikannya.
"Dari sini jauh ke bengkel lagi," ucapku.
Bruk.
Tiba-tiba ada mobil berhenti dan menghajar gue.
"Ngapain Lo ganggu cewek gue!"
"Rizkian! Gue gak ganggu cewek Lo! Karena dia sebentar lagi jadi cewek gue!"
Gue membisikkan kata-kata itu ketika Rizkian mencengkeram leher gue.
"Rizki! Lepaskan dia!" pekik Embun sambil berusaha melepaskan tangan Rizkian.
"Kenapa kamu tidak mengangkat teleponnya? Dan kenapa bersama bocah tengil ini?. Rizkian melepaskan cengkeramannya, lalu menarik tangan Embun, dan memasukkan ke mobilnya.
"Dasar pembunuh! Brengsek!"
Rizkian kembali menghajar ketika gue menghardiknya dengan kata-kata yang keluar begitu saja dari mulut gue.
"Brengsek? Apa bedanya dengan Lo? Sebrengseknya gue, gue bisa menjaga kehormatan seorang perempuan! Tapi Lo malah menghancurkan kehormatan seorang perempuan!"
Hardiknya bagai halilintar yang menyambar.
Rizkian masuk ke mobilnya, lalu melajukan mobilnya dengan kencang.
"Sial!!!! Gua benci diri gua yang hina ini!!"
Gue memaki diri gue sendiri. Benar kata Rizkian. Gue lebih hina dari seorang pembunuh. Gue yang pernah menghancurkan masa depan seorang gadis, karena di bawah pengaruh alk0hol itu lebih hina dari Rizkian.
Rizkian memang pernah membunuh tetapi waktu itu karena bukan salahnya melainkan salah teman-teman gue yang mengeroyoknya rame-rame. Dan andai saja dia tidak berniat menebas leher Rizkian dengan senjata tajamnya sudah pasti Rizkian tidak akan melempar batu untuk melindungi dirinya.
Kini gue tak lagi menutup hati dan menyalahkan Rizkian. Karena tidak sepenuhnya salah Rizkian. Kelak gue akan menjelaskan ke Tante gue yang anaknya meninggal waktu itu, supaya memaafkan Rizkian.
Kini gue kalah oleh sang waktu.
Bersambung ke: Karma dari perbuatan jahat masa lalu.