Skip to main content

Cerita pendek tentang kehilangan suami karena virus corona

Cerita tentang kehilangan suami karena virus corona adalah cerita mini atau cerpen pendek dengan judul rinduku sampai di surgaMU.

Menceritakan kisah sedih prihal seorang istri dan dua anaknya yang mulai bisa menghapal doa masuk surga dan doa dihindarkan dari api neraka.

Untuk lebih jelasnya tentang cerita mini atau cermin yang yang berjudul rinduku sampai surgaMu disimak saja kisahnya dibawah ini.

Cermin: Rinduku Sampai Surga-Mu Author: Islami Dini

Jalanan yang biasanya ramai, kini tampak lengang.

Di atas pepohonan, burung-burung asyik berkicau, seolah menyuarakan pada dunia bahwa mereka sedang bahagia. Sekitarnya terasa lebih damai, polusi tak lagi banyak, tanpa tahu bahwa aku sedang melihat mereka dengan sorot sendu yang teramat sangat.

Dalam hati aku membatin, seandainya kita tidak pergi waktu itu, mungkin kamu masih ada di sini sekarang.

Ingatanku melayang pada kurun waktu satu bulan terakhir.

***

"Jangan menyerah, ya, Mas. Aku, Adnan, dan Nissa menunggumu," lirihku dengan suara bergetar.

Dapat kurasakan sebuah ketakutan besar menghimpit dada saat ini, begitu sesak. Aku berusaha mati-matian menahan bulir air mata yang sudah menggenang. Tidak! Bagaimanapun aku harus kuat.

"Mas tahu kamu wanita hebat, Lia. Takdir adalah milik Allah. Apapun yang Allah takdirkan, kamu harus tetap jadi wanita hebat. Aku titip anak-anak, ya."

Mas Aldo berucap dengan tatapan teduhnya. Seandainya makhluk kecil yang dinamai virus itu tidak menjangkiti tubuhnya , ingin sekali aku memeluk tubuh tegap itu. Namun, jangankan memeluk, mengecup punggung tangannya saja aku tidak bisa.

"Iya, Mas. Jangan lupa menghubungiku."

Bersamaan dengan kalimat terakhir itu, Mas Aldo masuk ke dalam mobil ambulans. Meninggalkan tubuhku sendirian di tepi jalan yang lengang.

Aku harus menjadi wanita kuat seperti yang Mas Aldo katakan.

Setelah mobil itu lenyap di tikungan jalan, segera aku melangkahkan kaki menuju rumah mungil yang selalu penuh kehangatan.

Untuk saat ini, aku hanya bisa berdoa dan bertawakkal sepenuhnya untuk kesembuhan Mas Aldo dari Virus Covid yang menjangkit tubuhnya.

Dua minggu berlalu. Hampir dua kali sehari Mas Aldo meneleponku untuk memberi kabar juga menanyakan keadaan anak-anak. Seperti pemandangan yang kulihat saat ini, di mana kedua anakku-Adnan dan Nissa-sangat bahagia bercengkrama bersama abinya.

"Abi, Abang udah hafal surat Al-Qiyamah lho. Kalau udah tamat juz dua sembilan, hadiahnya Abang tagih ya, he he."

Kudengar Mas Aldo terkekeh pelan di sana. "Iya, Abang. Nanti, Abi titip hadiahnya ke Umi, ya."

"Abi, Nissa juga udah hapal doa minta masuk Sulga dan dijauhin dali api nelaka. Tiap habis solat Nissa baca, bial nanti kita sama-sama di Sulga, ya, Abi." Nissa berucap dengan cadel yang belum hilang di usianya yang sudah enam tahun.

Aku sangat bangga pada Mas Aldo, berkat didikannya, anak-anak kami bisa tumbuh dengan penuh kecintaan akan agama.

Bagaimana sabarnya membangunkan anak-anak untuk bangun saat waktu tahajud, membacakan satu ayat setiap habis salat Magrib untuk dihapal, dan mengenalkan anak-anak pada tokoh-tokoh hebat islam. Ah, betapa aku sangat merindukanmu, Mas.

"Abiii ... kapan pulang? Nissa lindu Abi. Abi lama banget beljuangnya engga pulang-pulang," ucap Nissa dengan lirih, kulihat matanya sedikit berkaca-kaca.

Di belakang mereka berdua, diam-diam aku mengusap sudut mata yang sejak tadi basah.

"Adek, Abi kan lagi berjuang biar bisa bareng-bareng kita lagi. Adek harus sabar. Orang sabar itu disayang Tuhan. Iya, 'kan, Abi?"

"Seratus buat Abang. Abi tutup dulu, ya, udah masuk waktu Asar. Buat Nissa, jangan sedih, nanti kita pasti ketemu lagi. Wassalamu'alaikum jagoan dan kesayangan Abi."

"Waalaikumussalam warahmatullah, Abi," ucap keduanya lalu menyerahkan handphone kepadaku.

Aku melihat layar handphone, tapi sambungannya sudah terputus. Padahal tadi aku dan Mas Aldo baru mengobrol sebentar.

Malam harinya, setelah anak-anak tertidur. Aku memutuskan untuk menelepon kembali Mas Aldo. Rasa rindu ini terasa begitu mencekik hatiku, padahal baru tadi sore aku mendengar suaranya.

Beberapa kali aku melakukan panggilan, tapi selalu berakhir dengan jawaban operator. Aku melihat jam yang menunjukkan pukul sembilan. Mungkin Mas Aldo sudah tidur, hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk terlelap.

Paginya aku terbangun karena dering pesan masuk dari handphone-ku.

Mas Aldo

[Assalamu'alaikum warahmatullah.

Dengan penuh duka, kami beritahukan bahwa pasien yang bernama Aldo Rifansyah telah meninggal dunia pada pukul 03.15 saat .... ]

Aku tidak mampu meneruskan membaca pesan itu. Pandanganku memburam oleh air mata. Kali ini aku tidak bisa menahannya lagi.

"Mas Aldo ... ," gumamku lirih.

"M-Mas Aldo, a-aku sedang bermimpi, kan," gumamku seraya memukul dada yang terasa sesak.

Aku tidak ingin seperti ini, bagaimanapun Mas Aldo harus tetap percaya bahwa aku wanita kuat.

"M-Mas Aldo ... saat aku merindukanmu semalam, apa mungkin kamu sedang berjuang mati-matian, Mas?" aku bermonolog seraya tak henti menangis.

Sekuat apapun aku berusaha, kehilangan sosok suami tak pernah menjadi sesuatu yang sederhana.

"Allah ... Allah ... beri aku keikhlasan."

Pandanganku semakin berkunang-kunang, sesak dalam dada tak bisa kuhalau lagi sakitnya. Lalu yang tersisa tinggal kegelapan.

***

"Umi!" Panggilan Adnan menyentakku dari lamunan. Aku berbalik badan dan melihat anakku yang berumur delapan tahun itu tengah berlari-larian dengan adiknya.

"Adnan, Nissa, kenapa kejar-kejaran, hum?" Kuajukan pertanyaan saat keduanya sudah ada di hadapanku.

Aku berjongkok untuk menyamakan tinggi badan dengan mereka.

Mata Adnam melirik sekilas ke arah Nissa, juga sebaliknya. "Hei, ada apa dengan jagoan dan kesayangan Umi ini?" tanyaku lagi.

"Umi jangan melamun terus. Nanti Abang ajakin maen, deh. Biar Umi enggak bosen."

Raffa berucap dengan mata teduhnya menatapku sendu, mata yang mengingatkanku akan mata teduh milik Mas Aldo.

"Umi juga halus banyak senyum, ya. Nanti Nissa janji bakalan bagi pelmen Nissa sama Umi."

Aku menatap keduanya haru. Ya Allah, apakah rindu ini telah menggerogoti hatiku begitu dalam? Sampai aku melupakan ada yang masih harus aku bahagiakan?

"Iya, Sayang. Umi enggak akan melamun lagi dan akan selalu tersenyum. Umi sayang Bang Adnan sama Nissa, sayaaang banget ...."

Aku membawa keduanya dalam dekapan. Menyalurkan perasaan lega karena kehadiran mereka adalah alasan aku tetap bertahan.

Mas, aku akan tetap kuat demi jagoan dan kesayangan kita. Doakan kesehatan kami selama wabah covid ini melanda. Aku selalu merindukanmu, semoga di surga kita kembali bertemu.

End.