Skip to main content

Cerita mini: Cemburu bukan pada tempatnya

Cemburu bukan pada tempatnya adalah cerita pendek romansa, apa itu romansa, romansa biasa diartikan cerita yang tulis berdasakan pengalaman penulis yang berisi kisah cerita cinta.

Cerita mini cemburu bukan pada tempatnya mencerita tentang seorang anak gadis yang dilamar pacarnya, namun ayahnya berat hati melepaskannya.

Untuk lebih jelasnya kisah cerita cemburu bukan pada tempatnya, disimak saja cerita lengkapnya dibawah ini.

Cemburu Bukan Pada Tempatnya Author: Whed

"Pa, besok katanya temen Erin mau ke sini. Dia ingin ketemu sama Papa," ucap gadis yang hidungnya mirip denganku.

Gadis itu yang selalu mengingatkanku pada mendiang ibunya.

Aku menghentikan kegiatan mengunyah, lalu meneguk air putih lalu mencoba mencerna ucapan putriku, Erin.

Usianya sudah menginjak seperempat abad. Aku yakin teman yang ia bicarakan adalah seorang laki-laki.

"Ehm, teman?" tanyaku.

"I-iya, Pa."

Kulihat ada rona merah di wajahnya meskipun ia menjawab dengan sedikit gugup.

"Teman atau pacar?"

Aku menggoda, mencoba agar ia nyaman untuk membicarakannya.

"Mm ... pacar, Pa. Namanya Dimas."

Aku tidak terkejut, tetapi entah mengapa rasanya seperti ada batu yang menghantam dada-sesak dan ngilu. Mungkin rasa khawatirku terlalu besar, takut ia akan segera melupakanku.

"Jam berapa?"

"Kemungkinan jam dua siang, Pa. Sabtu dia hanya kerja sampai jam satu," jelasnya terdengar antusias.

Erin memang belum pernah membawa teman lelaki ke rumah kecuali dulu sekali, sewaktu belajar kelompok.

Kuperingatkan ia untuk membatasi pertemanan. Aku membolehkan ia berteman dengan lawan jenis, asal tak bersentuhan. Terdengar kolot mungkin. Namun, hanya itu yang bisa kulakukan untuk melindunginya.

"Orang mana?" tanyaku mencoba menghargainya, sama seperti kali pertama ia bisa bicara; selalu berceloteh, apa pun diceritakannya. Lalu, ia akan marah kala aku mengabaikannya.

"Dia asli Solo, Pa. Tapi dia ngontrak rumah di sini agar dekat dengan kantornya."

Saat itu, pipinya merona lagi. Tiba-tiba timbul perasaan tak rela: Aku tak rela jika perempuan kesayanganku tumbuh dew^sa secepat itu.

"Oke. Habiskan makananmu, habis ini kita ke makam mama."

Aku mencoba tersenyum walau di dalam sini rasanya nyeri. Gadis yang dulu selalu kutimang, kini ia sudah memiliki kekasih. Bahkan, ia sudah berani ingin mengenalkannya padaku.

***

Aku memperhatikan sosok pemuda gagah yang berdiri di hadapan. Oh, jadi ini lelaki yang telah merebut hati gadis kecilku.

Penampilannya dari atas sampai bawah tampak rapi. Entah karena ingin mendapat perhatian, atau memang itu dirinya yang asli. Tangannya menenteng sebuah bingkisan, entah apa isinya.

Dia mengulurkan tangan kanan. Kulirik sebentar tangan itu sebelum akhirnya aku mau menyambutnya.

"Masuk." Aku masih tak memalingkan pandangan darinya.

"Terimakasih, Pak," ucapnya tanpa canggung sedikit pun. Mungkin, ia sudah berlatih semalaman.

Tak lama kemudian, Erin datang menghampiri. Kulihat ia cantik sekali. Aku yakin ia pasti berlama-lama di kamar hanya ingin terlihat cantik di depan pemuda itu.

Kulihat pemuda itu melirik sekilas ke arah Erin yang sedang menghidangkan minuman. Bergantian aku menatap Erin yang tampak tersipu.

"Ehm, jadi ada apa kedatangan Nak Dimas, ke sini?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Begini, Pak. Saya ke sini untuk meminta izin kepada Bapak untuk mengajak anak Bapak menjalin hubungan yang lebih serius. Saya mencintai anak Bapak."

Ucapannya tegas dan tepat sasaran mengenaiku. Aku merasa seperti laki-laki yang patah hati. Remuk redam.

Bertahun-tahun kujaga putriku, menyayangi dan melindungi. Lalu seorang lelaki merebutnya dariku.

Bahkan, aku sama sekali tak mengenal lelaki itu. Apa ia layak? Apa ia mampu memberikan cintanya seperti aku yang segenap hati menjaga sedari bayi?

Aku menoleh ke arah Erin yang sedang menunduk. Kedua tangannya sedang memainkan ujung blouse merah muda yang ia kenakan.

"Maaf, cinta saja tak cukup. Apa kamu sanggup?" tanyaku setelah hening beberapa detik.

Tentu saja aku meragukannya. Dari segi bicara, ia memang terlihat meyakinkan. Namun, harusnya cinta yang sebenarnya tak butuh pengungkapan.

"Saya berjanji akan membahagiakan anak Bapak."

"Jangan berjanji kalau tak bisa menepati."

Aku meminum teh hangat yang sudah mulai dingin.

"Diminum dulu tehnya," ucapku memecah ketegangan.

"Terimakasih, Pak." Ia mengangguk sebelum meraih cangkir di meja.

Seharusnya aku senang. Saat usiaku mulai berkurang, akan ada sosok yang mencintai juga menjaga Erin.

Aku tak 'kan lagi menjadi satu-satunya sosok pahlawan baginya. Bagiku, melepasnya adalah hal tersulit.

"Sebenarnya saya tergantung dengan Erin."

Aku membuka percakapan setelah jeda beberapa menit. Aku kembali melirik ke arah putriku. Ia terlihat gelagapan dengan ucapanku.

"Karena ia yang akan menjalani nantinya," lanjutku.

"Papa?"

Gadis itu memelukku. Erat. Aku seperti tak ingin melepasnya. Ia bahkan sudah mengidolakan lelaki lain. Mungkin aku terlalu egois, cemburu yang bahkan bukan pada tempatnya.

Aku memang harus rela melepasnya-membiarkan ia terbang bebas, memilih kehidupannya sendiri.

Aku pun harus mengizinkannya menyelesaikan urusannya tanpaku. Andai aku memeganginya cukup erat pun akan malah memenjarakannya.

Putriku, percayalah, cintaku tak 'kan berubah.

Selesai