Skip to main content

Cerpen singkat dan menarik tentang memaafkan kesalahan ayah

Cerpen singkat dan menarik tentang memaafkan kesalahan ayah adalah kisah cerita prihal seorang ayah yang telah membutakan hati dengan harta tahta dan wanita.

Demi ambisinya anak dan istrinya ditinggalkan dan diterlantarkan, roda kehidupan berputar nasib ayah jadi memperihatikan, namun anak baik tetap memaafkan kesalahan ayahnya.

Kisah cerita tentang memaafkan kesalahan seorang yang yang pergi meninggalkan istri dan anaknya di cerita dalam cerpen berjudul "Maaf Untuk Ayah" disimak saja dibawah ini.

Cerpen: Maaf Untuk AyahAuthor: Yusniwan Malay

Diantara pedagang asongan dan anak jalanan, di perempatan lampu merah, terlihat sosok yang tidak asing bagiku. Orang itu dengan gigih menawarkan tissu, dagangannya kepada pengguna jalan.

Aku menoleh ke jok belakang, tempat ibu duduk. Rupanya ibu sedang memejamkan mata. Sementara Mbak Sri, perawat yang membantuku merawat ibu, sedang memijit telapak tangan ibu. Mas Lukman, suamiku fokus dengan kemudi mobil.

Lampu hijau mulai menyala, pedagang asongan segera menepi. Sosok lelaki yang tampak ringkih, berjalan tertatih, di trotoar. Lelaki itu terlihat menahan sakit, setiap kali melangkah.

Aku terus memandanginya, hingga mobil yang dikemudikan Mas Lukman berbelok. Lelaki tua pengasong tissu itupun hilang dari pandanganku.

***

"Ayah mau pergi kemana? Mengapa membawa koper besar," teriakku kala itu.

Aku baru duduk di bangku kelas empat SD. Siang itu, sepulang sekolah, kudapati ayah keluar dari rumah dengan membawa koper. Di luar ada mobil sedan yang entah milik siapa. Mobil itupun segera berlalu, setelah ayah masuk ke mobil.

Aku yang kebingungan, segera masuk rumah. Di sudut ruang tamu, ibu menangis tersedu. Kudekati ibu dan segera memeluknya. Aku tidak tahu apa yang terjadi antara ayah dan ibu. Hanya saja aku yakin, tangisan ibu ada kaitannya dengan kepergian ayah.

"Reyna, maafkan ibu, Nak," ucap ibu disela isak tangis.

"Apakah ayah berbuat kepada ibu?" Tak kuhiraukan ucapan maaf ibu.

Ibu tidak segera menjawab, karena air mata ibu semakin deras. Aku yang belum genap sepuluh tahun masih tidak mengerti dengan keadaan ini. Yang kutahu, sejak beberapa bulan ini, ayah sering pergi ke luar kota. Alasannya tugas dari kantor.

Ayah juga sering lembur kerja. Tidak pernah lagi membantuku mengerjakan pe-er. Kalaupun ayah ada di rumah kerjanya uring-uringan. Sehingga terjadi pertengkaran antara ayah dan ibu.

***

Setelah ayah pergi, aku dan ibu hidup berdua. Ibu mulai sibuk dengan usaha floristnya. Sebelumnya, ibu sudah berbisnis bunga secara online.

Ibu mulai serius dengan usahanya, setelah kepergian ayah. Sebuah kios kecil, tidak jauh dari rumah, ibu sewa untuk usahanya.

Dengan usaha ini, ibu menafkahi dan menyekolahkanku. Ayah tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Aku benar-benar kehilangan sosok ayah.

***

Aku baru tahu arti kata perceraian, kala duduk di bangku kelas sepuluh SMA.

Waktu itu aku harus mengumpulkan salinan akte kelahiran untuk keperluan lomba antar sekolah yang kuikuti.

Ibu menyuruhku mencari sendiri di laci lemari baju ibu. Diantara tumpukan dokumen penting yang ibu simpan, terdapat akte cerai antara ayah dan ibu.

Ibu dengan tegar menceritakan fakta sesungguhnya. Beliau memintaku untuk menerima keadaan.

"Jangan kau benci ayahmu. Mungkin sekarang dia sedang tersesat. Namun, ingatlah Allah maha bijaksana." Ibu menjeda kalimatnya.

"Sekarang ayahmu tidak menginginkan kita. Kita tidak boleh menyerah. Tunjukkan kalau kita bisa hidup tanpa ayah. Biar ayah menyesal telah membuang kita. Kamu harus berprestasi dan menjadi orang sukses."

Kata-kata ibu menjadi cambuk untukku. Selama ini, prestasi sekolahku tidak mengecewakan.

Sejak berseragam putih biru, aku selalu ditunjuk untuk mengikuti olimpiade sains, mewakili sekolah. Bahkan tahun ini mewakili negara untuk tingkat internasional.

Aku dan empat wakil dari Indonesia akan berlomba di Jepang. Oleh karena itu aku harus menyerahkan akte lahir untuk membuat paspor.

Ibu menangis terharu, ketika wakil dari menteri pendidikan, datang ke rumah. Beliau mewakili presiden dan menteri meminta ijin kepada ibu untuk kepergian ku ke negara produsen anime, mengikuti olimpiade sains.

***

Ibu kembali menangis haru saat dijemput oleh utusan presiden. Hari itu para peserta olimpiade dan orang tua serta pihak sekolah, diundang presiden.

Bapak presiden memberi kami penghargaan, karena tim Indonesia menjadi juara umum. Masing-masing peserta memperoleh medali.

Acara yang tentu diliput stasiun televisi nasional. Ketika wajah ibu dan aku terpampang di layar kaca, di hati ini berharap, lelaki yang membuang kami ikut menonton. Biar dia tahu, kami tidak terpuruk. Kami bisa hidup lebih baik darinya.

***

Bertahun-tahun telah berlalu. Aku bisa menyelesaikan studyku. Bahkan ada beasiswa untuk melanjutkan kuliah master di Jepang. Sekali lagi ibu melepaskan buah hatinya untuk pergi jauh lagi.

Sekarang aku sudah menjadi dosen di universitas ternama di negri ini. Menikah dengan Mas Lukman yang sama-sama dosen yang berbeda bidang study. Dikaruniai dua anak yang lucu dan pintar.

Di sela kebahagiaan keluargaku, ada ujian menerpa lagi. Ibuku menderita penyakit darah tinggi dan rematik.

Aku meminta ibu untuk istirahat. Usaha floristnya, biar diurus oleh orang yang bisa dipercaya. Aku menggaji Mbak Sri untuk membantuku menjaga ibu, kala aku mengajar.

Hari ini jadwal ibu untuk kontrol ke dokter. Mas Lukman selalu menyempatkan waktu untuk mengantar kami ke dokter.

Di perempatan lampu merah tidak jauh dari rumah sakit, aku melihat lelaki itu.

Menjajakan tissu kepada pengguna jalan. Tidak ada lagi badan gagah dan tegap. Wajahnya hitam dan kusam terbakar matahari. Ketampanannya menguap oleh asap kendaraan di jalanan.

Entah apa yang terjadi dengan hidupnya. Ibu pernah bercerita, putri bos tempat ayah bekerja, jatuh cinta kepada ayah.

Bos ayah, menjanjikan jabatan yang tinggi dan bakal mewarisi perusahaan, asal ayah bersedia menikahi putrinya.

Harta tahta dan wanita telah membutakan hati ayah. Dia rela meninggalkan aku dan ibu demi ambisinya meraih harta dan tahta.

Ayah, meski kau telah membuang aku dan ibu. Aku juga tidak tahu kehidupanmu selama kau pergi.

Namun, melihatmu saat ini yang harus berjuang di jalanan. Pintu maafku selalu terbuka untukmu. Tidak ada dendam di hati. Namamu akan kuucap dalam doaku.