Cerpen: Anak istimewa tak harus pandai
Cerpen anak istimewa tak harus pandai adalah contoh cerita pendek untuk anak yang berisi motivasi pesan pesan kepada orang tua bahwa pandai itu tidak hanya soal nilai yang sempurna.
Keterampilan dan bakat seorang anak pun bisa menjadi penunjang untuk mengapai cita cita, bagaimana kisah cerita dalam cerpen anak istimewa tak harus pandai.
Apakah berkisah seperti cerita pendek anak tentang kejujuran atau bercerita seperti cerita anak singkat tentang pendidikan dan persahabatan, selengkapnya disimak saja kisah ceritanya dibawah ini.
Anak Istimewa Tak Harus PandaiAuthor: Ira Wati
Apa yang paling ditakuti dari anak-anak setelah menerima raport? Hukuman. Tentu saja karena nilainya jelek.
Lain halnya jika nilai yang tertera di dalam buku raport hampir semua bernilai A. Hadiah atas prestasi pasti sudah menanti.
Doni, dengan gemetar menyerahkan buku hasil penilaian belajar selama satu semester kemarin. Lalu duduk menunduk. Pasrah.
Bapaknya membetulkan sedikit kaca mata plus yang sering merosot ke hidung. Membuka lembar demi lembar, membandingkannya dengan hasil rapot semester sebelumnya.
Praakk!
Buku raport dilempar di atas meja. Bersamaan dengan itu, Doni terkejut dan reflek memundurkan badannya. Gemetar ketakutan.
"Undangan dari Bu Guru, untuk apa?"
Doni menggeleng. Matanya tak berani beradu dengan mata bapak yang baru saja melepas kaca mata, lalu menatap tajam pada Doni. Tapi sebagai anak laki-laki, dia pantang menangis. Apalagi di depan bapak.
Di semester sebelumnya, Doni kerap kali mendapat pukulan rotan, karena nilai yang dianggap bapak mengecewakan. Tapi hari itu, kayu rotan kecil sudah lebih dulu disembunyikan oleh Doni, sebelum memberikan hasil raportnya.
#
"Silahkan duduk, Pak."
Bu guru menyilakan dengan ramah.
Bapak Doni berwajah masam, menahan malu. Kecewa. Mungkin reaksi yang tidak terlalu berlebihan dari orang tua yang menginginkan hasil belajar anaknya bagus.
Paling tidak, sekolah yang dilakoni setiap hari tidaklah sia-sia jika nilai yang diperoleh bagus, atau rata-rata seperti teman-teman yang lain.
Semenjak masuk sekolah dasar, hingga sekarang di tingkat-5, nilai Doni tidak pernah berubah. Selalu mendapat predikat anak terbodoh di kelas.
Setahun lagi di kelas 6, Doni harus bisa mengejar ketertinggalan dari teman-teman yang lain. Untuk itulah guru memanggil orang tua Doni.
"Untuk nilai raport, kami pihak sekolahan masih bisa membantu dengan nilai ketrampilan atau kepribadian si anak, tapi untuk ujian nasional nanti, kami tidak bisa berbuat banyak. Sepenuhnya hasil dari si anak sendiri."
Bapak Doni menghela nafas,
"saya juga tidak mengerti, Bu, di rumah, Doni ya saya paksa belajar setiap hari, tapi kok ya, tetap saja bodoh."
"Doni tidak bodoh, Pak," bu guru Doni tersenyum. Membuat bapak di depannya ikut tersenyum, dipaksakan.
"Ya, pasti Bapak Ibu guru tahu sendiri kan, nilai raport anak saya selalu merah. Masa iya, maksa disebut pintar?" bapak Doni terkekeh.
"Pandai itu tidak melulu soal nilai 10 sempurna atau di atas rata-rata," kali ini ucapan bu guru sedikit serius, "tetapi, bakat juga termasuk dalam kepandaian." lanjut bu guru lagi.
"Bakat apa yang Ibu maksud?"
"Doni pandai melukis kan?" bu guru Doni, yang notabene hanya guru pengampu di sekolahan, bahkan dengan sangat bangga mengatakannya.
Bapak Doni bukan tidak tahu, jika Doni suka menggambar. Kamar kecil milik Doni, penuh dengan tempelan bermacam-macam hasil dari coretan tangan Doni sendiri.
Bahkan di tembok samping rumahnya, Doni juga menggoreskan karyanya di sana. Dengan menggunakan pecahan batu bata, arang ataupun bekas patahan genteng, juga dedaunan sebagai pewarna.
Bisa menggambar itu biasa saja, tidak ada yang istimewa, itu anggapan bapak Doni. Berkebalikan dengan pihak sekolahan, yang paham akan bakat terpendam yang dimiliki Doni, sehingga menggali potensi yang dimilikinya. Berbagai perlombaan menggambar dan melukis Doni ikuti. Tanpa sepengetahuan bapak.
"Banyak orang yang bisa menggambar juga, Bu. Apa yang istimewa?"
"Bapak tidak tahu? Doni bisa menggambar dengan sangat cepat, dengan hasil yang luar biasa."
Bapak Doni terperangah. Ekspresi mukanya campur aduk, antara terkejut, heran juga malu, karena tidak lebih tahu dari guru Doni.
#
Bapak Doni mengamati satu persatu hasil lukisan Doni yang ditempel di tembok kamarnya. Salah satu yang paling bawah, menariknya pada kejadian beberapa tahun silam.
"Bapak, lihat gambar Doni, kata Bu Guru, lukisan Doni menang!"
Sorot mata kegembiraan dari Doni kecil tak terlalu dihiraukan oleh bapak. Rasa lelah bekerja seharian membuatnya abai pada kabar gembira yang disampaikan oleh anak semata wayangnya.
Bapak Doni menangis bersimpuh di depan tempelan lukisan yang memenuhi dinding kamar Doni. Betapa dia selama ini sangat tidak pernah memperhatikan anaknya sendiri. Bahkan bakat istimewa yang dikatakan oleh guru Doni, luput dari perhatiannya.
Bapak terlalu menuntut jumlah nilai yang harusnya Doni dapat, sehingga mengabaikan kepandaian lain yang justru sangat menonjol.
Sudah menjadi budaya, rangking pertama adalah anak pandai, sedang anak bodoh berada pada posisi terakhir. Doni, tak pernah bergeser mendapat rangking 30 dari 30 anak di kelasnya. Karena itulah, Doni mendapat cap sebagai anak bodoh. Dan bapak Doni percaya itu.
Yang dia tahu, sebagai bapak, hanya bekerja, memberi uang jajan, bertanya dapat nilai berapa, tanpa tahu ada perkembangan hebat apa dari anaknya. Karena bapak Doni harus mengurus anak sendiri, semenjak istrinya meninggal bertahun-tahun yang lalu.
"Maafkan Bapak ya,"
Doni mengangguk. Ada rasa lain saat bapak memeluk dan mengelus kepalanya. Karena jarang sekali bapak berlaku demikian. Anak sekecil itu belum terlalu bisa membaca isi hati bapaknya.
Tidak tahu jika bapak kecewa padanya. Tidak tahu jika sekarang bapak bangga dan menerima segala kekurangan dengan banyak kelebihan yang Doni miliki.
#
Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan SD. Bapak dan Doni berjalan bersama keluar dari gerbang sekolahan. Mereka tidak mempedulikan tatapan orang yang mengiba atau mencibir.
"Apa cita-cita kamu, Don?" untuk pertama kalinya, bapak Doni bertanya perihal cita-cita anaknya.
"Menjadi pelukis terkenal, Pak. Bisa menggelar pameran hasil karya sendiri." Doni menjawab mantap.
"Bapak akan mengaminkan seluruh do'a kamu, dan mengusahakan semampu Bapak."
Bapak Doni berucap bangga, kemudian merangkul pundak Doni berjalan pulang sambil membawa surat keterangan tidak lulus ujian.
#
Seorang anak muda memapah orang tua yang berjalan tertatih sambil memegang tongkat. Menyelip di antara kerumunan orang yang berjejer melihat-lihat pajangan yang tergantung di dinding.
Semua takjub dengan keindahan lukisan yang dipamerkan. Salah satu yang tebesar bahkan dilelang dengan harga yang fantastis.
Lukisan itu terlihat hidup. Lukisan yang sempurna. Seorang bapak tua dengan garis kerut di wajahnya yang seolah nyata.
Bapak tua itu memperhatikan dengan seksama lukisan dirinya yang terpajang di depannya. Air matanya tidak berhenti mengalir. Antara haru dan bangga.
Event pameran yang digelar itu dipersembahkan untuk bapak yang sangat istimewa. Yang mendukung penuh setiap apa yang dilakukan olehnya. Menerima segala kekurangan yang ada padanya.
Walaupun dia hanyalah seorang anak yang bahkan tidak lulus sekolah dasar. Doni.