Skip to main content

Bercita citalah menjadi orang kaya setinggi mungkin

Pepatah mengatakan kejarlah cita citamu sampai setinggi mungkin dan bermimpilah setinggi langit maka kau akan jatuh diantara bintang bintang, yang artinya siapa pun yang ingin mendapatkan sesuatu hal yang diingkan maka harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapai keinginannya.

Dan kata bercita citalah menjadi orang kaya setinggi mungkin adalah judul cerita pendek tentang kehidupan seorang penarik becak, bagaimana kisah ceritanya, disimak saja dibawah ini

Cerpen: Bercita citalah menjadi orang kaya setinggi mungkin Autor: Lilin

Kertas ini lusuh, kotor, tulisan yang ada di dalamnya pun sudah tak terbaca lagi. Bahkan untuk mencetaknya pun tidak akan sesulit yang dipikirkan orang kaya. Tetapi entah aku tak ingin membuangnya, apalagi mencetaknya kembali. Karena aku tidak cukup mampu untuk itu.

Aku berfikir kalau saja menjadi orang kaya itu begitu mudah. Tak akan ada lagi bau keringat atau tangan yang berurat. apalagi kisah kertas lusuh di dalam genggaman tangan, tong sampah tentu saja telah menelannya bertahun-tahun silam tanpa tertulis di buku sejarah. Sayang sekali aku tidak pernah memiliki cita-cita jadi orang kaya di waktu kecil.

Di antara orang-orang yang berlalu-lalang di pasar tradisional Blauran, di akhir malam Ramadhan. Ingin sekali aku tak ada di sini, pergi sejauh-jauhnya. Ke kampung halaman atau ke tempat-tempat orang kaya merayakan kemenangan.

Bukan di emperan pegadaian yang sudah tutup semenjak kemarin sore. Mungkin seluruh pegawainya telah sampai ke pangkuan orang tuanya, bersama anak atau kekasihnya masing-masing. Tetapi mereka melupakan aku.

Seperti Narti melupakan aku, setelah mengatakan kemarahannya, tanpa melihat wajahku.

"Aku sangat kecewa kepadamu, coba kamu itu orang kaya,"

Sungguh aku sangat marah kepada Tuhan saat itu. Kalau saja Tuhan menjadikan aku orang kaya tanpa aku cita-citakan. Bukankah Tuhan itu Maha Mengetahui? Tapi mengapa Dia tidak tahu nasib yang akan menimpaku? ditinggalkan Sunarti istriku.

Jika bukan karena kertas lusuh ini, aku sudah akan menghajar bibir cantik Narti. Meskipun sejujurnya apakah ada keberanian untuk melakukannya. Karena bibirnya itu membuat hidup dan matiku secara bersamaan.

Narti tidak pernah tahu jika ciuman bibirnya mampu merangsang syaraf motorik untuk bekerja lebih giat lagi setiap pagi. Aku tidak kaya, karena itu aku lakukan apa saja untuk bibir Sunarti.

Di pasar Blauran inilah aku bertemu Narti. Itu mungkin satu-satunya keberanian yang aku lakukan sebagai orang miskin. Menikah dan menafkahi anak gadis orang. Tetapi kulakukan itu karena perintah Tuhan.

Bukankah Tuhan memerintahkan untuk menyegerakan niat yang baik. Dengan kesungguhan hati maka akupun menikah, berbekal seperangkat alat sholat dan cincin emas dua setengah gram yang aku lingkarkan di jarinya.

Di usia lima tahun pernikahan kami, satu anak pun tidak kuhasilkan. Itu salah satu harta yang tak pernah aku miliki, terbukti setiap bertemu kawan lama atau saudara yang mereka tanyakan pasti. "Sudah punya anak berapa? Atau sudah ada isinya nya belum perutmu, Narti?"

Tentu saja kujawab dongkol,

"Ya sudah berisi nasi dan ikan asin hasil keringatku pagi hingga seharian ini." Hanya di dalam hati saja.

Lagipula aku tetap miskin, dengan menjawab segala pertanyaan-pertanyaan tidak penting itu, tidak lantas menjadikanku kaya. Lalu dengan berat hati akan kupasangkan senyum termanisku kepada isteri tercinta, Sunarti.

Sampai siang itu, secara tiba-tiba Narti meminta uang kepadaku, dengan nominal yang lumayan banyak. Sedang biasanya cukup dua puluh sampai lima puluh ribu saja.

"Mas, aku minta uang sejuta."

"Memangnya kamu ingin membeli telur sepeti?" ujarku dengan kaget.

"Bukankah biasanya cukup hanya lima puluh ribu? Itupun sudah sama beli beras."

"Sudahlah, Mas. Turuti saja permintaanku, itupun kalau kamu mau kita punya anak."

Sunarti kelihatan sangat serius dengan kata-katanya.

"Oke, akan aku carikan tapi katakan dulu uangnya untuk apa?"

Masih dengan sabar kupertanyakan perihal permintaannya.

"Aku ingin kasihkan Ki Agung Bima. Sebagai mahar ritual biar segera perutku ini terisi jabang bayi benih pejv mu."

Entah apa yang dikatakan Narti selanjutnya. Tiba-tiba saja aku mengangguk. Meski di dalam lubuk hatiku kata-kata istriku itu begitu tidak masuk akal.

Lidahku begitu keluh, yang ada di mata hanya bayangan Narti dengan perut menggelembung seperti balon, ada bahagia di wajahnya.

****

Dengan menggenggam harta satu-satunya bukti keseriusanku menikahi Narti, cincin pernikahan seberat dua setengah gram. Aku berhasil mendapatkan uang sejuta rupiah, untuk Sunarti tersayang. Di pegadaian pasar Blauran saksi segalanya, siang itu aku titipkan cincin pernikahan kita.

"Tidak akan Narti mengetahuinya, toh selama ini dia hanya menyimpannya di dalam lemari saja," Pikirku saat itu.

Lagi-lagi bayangan perut Narti yang menggelembung membuatku sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan istriku itu, jika tahu bukti cinta kita tergadaikan.

Aku hanya ingin dia segera hamil, apalagi di bulan Ramadhan kata orang-orang kaya bulan baik untuk bersedekah. Tetapi rupanya uang permintaan Narti untuk Ki Agung Bima menjadi satu-satunya sedekah terbesar bagi orang miskin sepertiku.

Apes Sayang, aku sebagai orang miskin meskipun siang-malam mengayuh becak tak akan mampu menebus cincin pernikahan itu. Kau teriakan banyak kata ketika tanpa sengaja, entah jiwa keromantisan apa yang tiba-tiba membuatmu ingin mengenakan cincin itu, di saat sholat Idul fitri bersama mukena pemberianku.

Seharusnya aku bahagia dengan keinginan istri tercintaku, tetapi cincin itu menjadi satu-satunya belati yang menyayat urat nadi secara perlahan. Lemah, tak berdaya tetapi tak selekasnya mati.

Kata-kata Narti yang keluar dari bibirnya, membuatku kembali mengingat perihal cita-cita menjadi orang kaya. Tetapi aku tidak pernah mencita-citakannya.

"Aku tidak peduli, pokoknya di saat sholat Id besok kuingin seperti orang kaya,"

Sunarti berteriak pagi tadi dengan air mata membanjiri kedua pipi cantiknya.

"Kalau sampai besok pagi sebelum berangkat ke masjid cincin itu tidak ada. Lupakan saja aku, titik!"

"Sunarti, aku hanya orang miskin dan satu-satunya keberanianku adalah menikahimu," pikiran itu menemaniku sepanjang perjalanan.

Sekiranya tiga kali tarikan becak hanya mampu membeli telur sekilo bersama berasnya. Bagaimana bisa untuk mengambil cincin yang digadai?

Tiba-tiba satu lagi keberanianku timbul, selain menikahinya. Akan kujual saja becak ini untuk menebus cincin pernikahan kita, cincin yang akan menjadikan istriku seperti orang kaya.

Aku hanya ingin berlari secepatnya ke pegadaian, segera memakaikan cincin itu di jari manisnya. Ah, aku tiba-tiba tidak ingat apa-apa. Yang ada hanya kesendirian dan kemiskinanku.

Tak ada lagi bibir manis Narti, yang sesekali mengomel penuh kekesalan tetapi kurindukan. Aku merasa waktu dan terali besi yang menutup rapat pintu pegadaian malam itu menertawakanku. Seperti malam ini, aku hanya ingin memakaikan cincin itu di jari istriku, lalu melihat senyumnya bersama orang-orang kaya di halaman Masjid.

Kali ini cita-citaku, menjadi orang kaya. Lelaki gembel setengah tidak waras di emperan pegadaian pasar Blauran.

-selesai-