Simfoni cinta dari jiwa yang lara (fatamorgana cinta part 20)
Simfoni cinta dari jiwa yang lara adalah adalah episode 20 cerita cinta romantis anak muda masa kini, diepisode ini kisah cinta sedih mengharukan karena pergi menjauh dari orang yang pernah diperjuangkan.
Untuk lebih jelasnya disimak saja kisah cinta dari jiwa yang lara dalam cerita bersambung fatamorgana cinta episode 20 berikut ini.
Fatamorgana Cinta Part 20 Author: Ersu Ruang Sunyi
Aku yang tengah berada di antara Farel dan tantenya merasa salah tingkah, entah karena perkataan tantenya atau karena tatapan Farel yang membuat dadaku berdebar.
Untuk kali kesekian kurasa ada debaran halus kurasakan, yang entah itu apa?.
"Tante, kami berdua tidak pacaran." Farel mencoba meluruskan prasangka Tantenya.
"Em, kalau kalian tidak pacaran, berarti lagi pdkt ya?" tanyanya lagi.
"Tidak Tante, aku sama Farel hanya berteman baik." Kali ini aku yang mencoba menjelaskan.
Pipiku sepertinya sedikit memerah, seperti selai strawberry kembali. Seperti pertama kali berada di dekat Rizkian.
Apa perasaan ini wajar? Ketika debaran halus terasa di saat Farel menatapku lekat.
Tidak mungkin perasaan ku memudar dan berubah haluan dari Rizkian kepada Farel, sudah jelas cinta pertama dan terakhirku adalah Rizkian.
Walau dengan jelas kusadari jika cintaku tidak lah semulus inginku, yang terhalang restu ibundanya Rizkian.
"Emm, maafkan Tante ya, sudah salah paham, kirain kalian itu pacaran. Soalnya Tante perhatikan tatapan mata kalian itu seperti saling menyukai."
"Permisi."
Seorang perawat dan dokter masuk ke ruang rawat Farel, untuk memeriksa keadaan Farel sebelum pulang.
"Oh iya Dok, silahkan," sambut ramah tantenya Farel.
Setelah Farel mendapatkan pemeriksaan, Farel pun bersiap untuk pulang karena keadaannya sudah membaik.
Aku mengantar Farel hingga ke mobil tantenya. Sempat tantenya mengajak untuk ke rumahnya dulu, tetapi aku menolaknya. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan. Karena kulihat ada mobil Maria di parkiran. Masih kuingat flat nomor mobilnya ketika ia meminta di lukis sewaktu di hotel waktu itu.
****
Wanita cantik dengan mengenakan dress berwarna abu sambil mendorong seorang laki-laki setengah baya yang duduk di kursi roda.
"Maria," panggilku, sambil melempar senyum.
"Embun?"
Maria menatapku penuh tanda tanya.
Maria mengajakku untuk mengobrol di ruangan Ayahnya. Dan kuberikan sepucuk surat yang pernah di titipkan oleh kak Arga beberapa waktu lalu.
Maria membuka surat tersebut. Ada bulir bening yang jatuh dari langit-langit matanya.
Entah apa yang di tulis kak Arga sehingga membuat Maria menangis tersedu.
"Embun, sampai kan maafku kepada abangmu. Aku terlalu hina untuk ia cintai hingga detik ini." Maria memelukku.
Ayah Maria yang stroke hanya mampu menatap putrinya yang tersedu, ia menggerakkan tangannya perlahan dan memanggilku dengan susah payah dengan tangannya yang ia lambaikan dari sudut ruangan besar itu.
Maria melepaskan pelukannya, dan aku pun mendekati Ayahnya Maria yang seakan akan mengatakan sesuatu.
"Ma-ma'afkan sa-sa-saya." Ia berkata dengan susah payah.
"Maaf atas apa Om?" tanyaku tak mengerti.
"A-abangmu, bi-bi-lang, pa-pada abangmu, sa-saya mi-minta ma-maaf." Ayah Maria berkata sampai keluar keringat dingin.
Begitu sulitnya bagi lelaki setengah baya yang masih terlihat berwibawa itu, berbicara.
Maria memberikan selembar kertas yang di tulis oleh kak Arga kepada ayahnya.
Ayah Maria membacanya dengan seksama. Kedua pipinya di basahi oleh bulir bening yang tiba-tiba membanjiri kedua pipinya.
"Embun, jika saja waktu itu aku tidak kecelakaan, mungkin ingatanku tidak akan amnesia. Dan aku tak akan mengkhianati Abang kamu. Sekali lagi sampai kan maafku, dariku yang hina ini." Maria mengusap kedua pipinya.
***
Semilir angin membelai lembut, menghibur jiwa yang terluka, menjaganya dari trik yang membakar rasa. Bintang-bintang mengedipkan simfoni cinta dari jiwa yang lara.
Petikan gitarnya begitu fals, sefals kidung sunyi yang merambat di kesunyian malam nan sepi.
"Kak," panggilku.
Tak ada respon darinya.
"Kak!" Kembali kupanggil ia dengan suara yang tinggi.
Ia menengok tanpa menjawab, kembali gitarnya ia mainkan di taman belakang rumah. Aku duduk di sampingnya. Menatap wajahnya yang biasanya galak, tetapi kali ini wajahnya menyimpan kepedihan yang tak mampu ia sembunyikan.
"Besok aku akan ke Jepang."
Suaranya mengagetkanku yang tengah menatapnya.
"Apa?"
Aku terkejut, karena sebelumnya kak Arga tak pernah bilang jika ia akan pergi ke Jepang.
"Aku mau melanjutkan studi di sana, ada beasiswa, yang sayang jika harus kutolak, kebetulan bisa sambil magang juga di sebuah perusahaan terbesar di sana," lanjutnya lagi.
Aku mengeluarkan sepucuk surat yang di tulis oleh Maria tadi siang.
"Kak, ini dari Maria " kuberikan surat tersebut padanya.
Ia mengambil nya dengan tangan yang gemetar. Hanya di pandangi sepucuk surat tersebut. Kutinggal ia di bangku taman belakang rumah seorang diri.
***
"Abangmu besok akan pergi ke Jepang!" seru ibu mengagetkan ku yang hendak masuk ke kamar.
"Kenapa ibu tak menceritakan sebelumnya kepadaku?" protesku.
"Ibu juga tidak tahu, Arga baru bercerita tadi sore," jawab ibu.
Hanya kak Arga yang tahu akan perasaan nya saat ini, walau pun aku berusaha untuk memahami perasaan kak Arga, tetapi aku tidak tahu seberapa hancur perasaannya.
Aku menatap gawaiku.
Ting.
Notif wa masuk terlihat Rizkian dan kontaknya Farel ngchat.
[Sudah tidur.] Dari Rizkian
[Sudah tidur.] Dari Farel.
Mataku melihat dua kontak berbeda dengan pertanyaan yang sama dari keduanya.
Kenapa debaran halus ini kian kencang melihat dua chat dari kedua lelaki yang pernah bermusuhan itu.
Gawaiku berdering. Rizkian memanggil.
Kugeser tombol jawab.
"Yank, besok kita jalan yuk."
Suara Rizkian dari sebrang telpon.
"Kemana?"
"Ke pelaminan."
"Dih, kamu itu!"
"Kenapa? Gak mau nikah sama aku?" tanya Rizkian dengan kekehannya.
"Bukan begitu yank, gak lucu bercanda saat ini. Besok kak Arga akan pergi ke Jepang, kita antar kak Arga ya."
"Ke Jepang?"
"Iya," jawabku, sambil menatap layar ponsel yang bergetar. Farel memanggil. Aku hanya menatap layar gawaiku. Tak mungkin kuangkat panggilan dari Farel di saat aku lagi telponan dengan Rizkian.
"Em, ya udah besok ke airport nya pake mobilku aja ya," ucap Rizkian.
"Love u sayang," lanjut Rizkian.
"Ok, love u too."
"Ya udah kamu tidur gih sudah malam, good night sweet dreams. Muuaachh ...."
"Aih, mana boleh ngkiss," sela'ku memotong ucapannya.
"Ya gak apa atuh. Lagian kan ngkiss dari jarak jauh ini. Muuaachh ... Itu kiss buat bibirnya yang tak pernah ku kiss. Assalamualaikum." Di akhiri dengan suara telpon yang terputus.
Aku yakin Rizkian takut kena semprot dariku, makanya ia langsung menutup telponnya sebelum sempat kujawab salam darinya.
Kulihat gawaiku yang terdapat notif chat dari Farel.
[Embun, sorry ya atas sikap Tante tadi siang]
Aku hanya membacanya, tak kubalas. Karena ku'tak ingin tenggelam dengan rasaku yang entah.
***
"Kak, apa kakak yakin akan betah di Jepang?" tanyaku kepada kak Arga yang mengeluarkan kopernya dari dalam kamarnya.
"Iya, sudah siap kok. Dan untuk adekku yang mancung ini, ingat ya jangan pacaran terus dengan dia," goda kak Arga sambil mencubit hidungku, sambil menunjuk ke arah Rizkian yang baru sampai.
Kami pun mengantar kak Arga ke airport.
Tangis Ibu dan Bapak pecah melepas putranya pergi ke negri sakura tersebut.
****
"Pak, Bu, saya mau melamar Embun."
Rizkian mengeluarkan kotak merah kecil dari dalam saku kemejanya.
"Permisi."
Suara Farel membuatku, bapak, ibu, dan Rizkian menengok ke arah pintu.