Skip to main content

Ringkasan dongeng Meongmpalo Karellae | Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan

Beberapa waktu yang lalu legenda cerita rakyat bugis sangiangseri dan meong palo Karellae telah di publikasikan dalam bentuk cerita rakyat panjang.

Dan dikesempatan ini Ringkasan cerita dongeng dari Sulawesi Selatan mengenai Meongmpalo Karellae yang dikisahkan dalam bentuk cerita rakyat pendek

Nah untuk lebih jelasnya cerita rakyat singkat dari sulawesi selatan disimak saja berikut ini yang berisi penjelasan, ringkasan cerita serta nilai moral atau pesan moral kehidupan dalam cerita rakyat yang berasal dari sulawesi selatan dibawah ini.

Penjelasan tentang Kisah Meong Palo Karellae | Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan

Meongmpalo adalah sebutan untuk kucing belang tiga atau berwarna tiga, dan Meongmpalo Karellae adalah kucing belang tiga berjenis kelamin jantan pada masyarakat Bugis.

Kucing belang tiga umumnya berjenis kelamin betina, jantan sangat jarang atau bahkan langka. Jikapun ada biasanya memiliki cacat dan tidak bertahan lama karena adanya kelainan pada kromosom.

Kelangkaan kucing belang tiga berjenis kelamin jantan, akhirnya dikaitkan dengan mitos di berbagai budaya.

Bagi masyarakat bugis, Meongmpalo Karellae adalah pengawal setia Sangiang Serri (Dewi Padi), yang kisahnya terdapat dalam kitab Sureq Lagaligo.

Dahulu, pembacaan kisah Meongmpalo Karellae dilakukan pada upacara Maddoja Bine, yaitu upacara penyemaian bibit padi. Dipercaya bahwa, jika si pencerita kisah ini merasakan kegembiraan saat membacanya, maka menjadi pertanda bakal baiknya hasil panen, pun sebaliknya.

Pembacaan cerita Meongmpalo Karellae sudah jarang dijumpai saat ini. Kalaupun ada biasanya hanya seremonial saja, dan tidak lagi menjadi bagian budaya yang hidup di masyarakat.

Ringkasan cerita Meongmpalo Karallae sebagai berikut:

Ketika Meongmpalo Karellae tinggal di daerah Tempe dan bermukim di Wage (sekarang Kabupaten Wajo) kehidupannya senantiasa bahagia, senang, tenteram, tanpa pernah mengalami penderitaan hidup dan siksaan batin.

Pemilik rumah yang ditempatinya sangat penyabar, berbudi luhur, dan bijaksana. Akan tetapi penguasa langit menimpakannya nasib buruk sehingga Meongmpalo dibawa ke Soppeng, kemudian ke Bulu, dan akhirnya menetap di Lamuru. Di tempat itu dia mulai merasakan penderitaan dan kepedihan.

Suatu waktu, tuannya yaitu pemilik rumah yang ditempatinya, pulang dari pasar membawa ikan ceppek-ceppek dan diambilnya seekor yang cukup besar.

Tuannya marah dan memukulnya dengan gagang parang. Meompalo karellae menjerit merasakan kepalanya serasa mau pecah dan penglihatannya berkunang-kunang.

Saking sakitnya dia berlari terbirit-birit menuju ke arah Enrekang, dan sampailah di Maiwa. Di tempat itu ia pun mendapatkan perlakuan yang sama seperti di Lamuru.

Di sebuah rumah, dia makan kerak nasi dan tulang ikan, sang tuan pemilik rumah melemparinya dengan sakkaleng (sepotong papan yang biasa dijadikan alas untuk membersihkan ikan).

Meongmpalo lari menghindar hingga naik ke atas rangkiang (lumbung padi) tempat bersemayamnya Sangiang Serri (Dewi Padi).

Mendengar keributan, Sangiang Serri terbangun dan menjadi sangat murka atas perbuatan penghuni rumah kepada Meongmpalo dan memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.

Sangiang Serri dan Meongmpalo meninggalkan tempat tersebut dan mencari tempat yang baik, namun tidak menemukan satu pun tempat yang menurutnya nyaman untuk ditinggali.

Akhirnya Sangiang Serri memutuskan untuk kembali ke langit dengan diantarkan oleh halilintar dan disertai kilat. Sesampainya di benua langit, mengadulah Sangiang Serri kepada ayahandanya perihal perilaku masyarakat di bumi.

Mendengarkan pengakuan putrinya, Batara Guru menasihatinya dan memintanya untuk kembali ke dunia. Dengan berat hati, Sangiang Serri kembali ke dunia di tengah malam buta, diantarkan halilintar dan guntur, dan sampailah dia di tanah Barru.

Di daerah Barru, Pabbicara (juru bicara) bersama orang Barru berkumpul bersama menyambutnya secara adat dan melakukan peghormatan yang seharusnya kepada Sangiang Serri.

Sambutan dan pelayanan yang baik yang dilakukan oleh Pabbicara (juru bicara) dan rakyat Barru, diterima dengan senang hati oleh Sangiang Serri.

Oleh karena itu, Sangiang Serri menyatakan niatnya untuk tinggal di daerah Barru dengan syarat bahwa Pabbicara dan masyarakat Barru mau menerima dan mengamalkan amanah dari Batara Guru, yaitu:

Janganlah bertengkar pada saat menjelang malam atau pagi, begitu pula pada saat tujuh malam, utamanya malam Jumat.

Nyalakanlah pelita pada saat menjelang malam, dan nyalakan api di dapur pada waktu malam.

Usahakan periuk dan tempat air minum senantiasa terisi pada waktu malam.

Usahakan pula tempat beras senantiasa berisi, dan jangan sampai kosong.

Jika mengambil nasi jangan sampai terhambur, jangan pula berbicara pada waktu makan.

Jangan melakukan perbuatan curang dan mengambil barang-barang yang bukan milikmu.

Jangan makan secara diam-diam di dapur, jangan pula makan makanan yang tidak halal.

Bilamana akan menabur benih:
Duduklah tafakkur menghadap pelita seraya menantikan petunjuk dari lubuk hatimu.

Batasi pembicaraanmu, tingkah lakumu, keinginan, dan nafsumu.

Batasi pula matamu dari sesuatu yang jelek atau buruk.

Bilamana padi sudah tua atau masak:
Panenlah seikat demi seikat agar tidak terhambur, dan simpanlah di lumbung, dan usahakan jangan ditempatkan bersama buah-buahan yang dapat busuk karena bisa merusak padi.

Demikianlah masyarakat Barru bersedia mengamalkan amanah tersebut, dan atas janji mereka maka Sangiang Serri bersama rombongan tinggal menetap di Barru.

Sumber ringkasan Meongmplao Karallae di atas diperoleh dari salah satu kumpulan tulisan hasil penelitian Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar yaitu, Bosara Nomor 19 Tahun VIII/2001, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.

Sumber: Arsip Warisan Budaya TakBenda BPNB Sulsel