Skip to main content

Ketulusan hati berbuah kebaikan, keikhlasan berubah jadi kebahagian Part 10

Sudah tentu dalam kehidupan ketulusan hati bisa berbuah kebaikan, kesabaran dan keikhlasan berubah jadi kebahagian apabila dilakukan dengan niat yang baik dan sukarela berbuat.

Kata-kata keikhlasan dan kata mutiara kesabaran adalah makna dalam cerita bersambung bagian 10 seorang wanita merelakan suami menikah lagi atau dipoligami, bagaimana kisah ketulusan dan keikhlan istri dalam cerbung ini, selengkapnya disimak saja dibawah ini.

Berbagi Suami Part 10 (2) Author : Ersu Ruang Sunyi

Kehamilan Sakila kini berjalan 3 bulan, dan semua kebutuhan Sakila aku yang menyiapkan, bahkan ketika ia ngidam ingin makan sesuatu, akulah yang mencarinya, karena mas Ilham sibuk kerja, dan jika Mas Ilham tidak ngantor pun Sakila tidak mau di tinggal oleh Mas Ilham.

Jadi otomatis aku yang kesana kemari. Kulakukan penuh keikhlasan, mengingat sekian bulan lagi akan memomong bayi yang telah lama di dambakan.

Siang ini Sakila ingin buah Dukuh, padahal kutahu saat ini tidak lagi musim dukuh, tapi ia bersikeras aku harus mencarinya hingga dapat. Sudah berapa belas pasar ku singgahi.

Toko buah ku jajaki, masih saja. Aku belum menemukan Dukuh yang di ingin oleh Sakila. Kucoba menelpon Sakila, siapa tahu keinginannya berubah di ganti oleh buah lainnya, namun percuma saja, ia tetap ingin buah dukuh.

Aku termangu di parkiran, harus kemana lagi mencari yang menjual dukuh. Tak lama kemudian ada dua orang yang menjambret tasku, aku pun berteriak meminta pertolongan dari orang-orang sekitar.

Namun mereka hanya melihat tak peduli. Kukejar jambret tersebut. Dan ia malah mendorongku hingga tersungkur.

Berbagi suami 10 (1)

Plak ... terdengar suara dari arah depanku. Seseorang berkemeja hitam menghajar kedua jambret tersebut hingga babak belur dan kabur.

"Hati-hati Ukhty ...," ucapnya sambil menyodorkan tas milikku. "Davira! Kamu Davira kan?" tanyanya.

Aku mengerutkan kedua alisku.

"Alex! kamu, kenapa kamu di sini? bagaimana bisa kamu mengenaliku?" tanyaku heran.

"Bola mata dan parfum kamu, aku mengenalinya," jawab Alex.

"Em ... kok kamu di sini? Bukannya di Bandung?" tanyaku pelan.

" Aku, habis dari rumah ibuku di sekitaran daerah sini dan sekalian mau beli durian, terus melihat ada yang teriak jambret," jawabnya sambil mengulurkan tangannya, untuk membantuku bangun.

" Oh, tidak usah aku bisa bangun sendiri," tolakku, sambil berdiri, dan ternyata kakiku terkilir saat terjatuh barusan.

"Davira, kamu ini kenapa selalu saja menolak bantuanku? Sudah jelas kaki kamu itu sakit!" Alex refleks meraih bahuku. Segera kutepis tangannya.

Seberapa sakit pun kaki aku yang terkilir, aku tidak akan mau di tolong hingga sebegitu nya oleh Alex, tapi keadaan ini tak bisa menolak ku. Menerima bantuannya, karena aku berusaha berdiri pun kakiku sudah terlanjur sakit yang luar biasa.

"Aku bisa berdiri sendiri!" seruku, seraya berdiri. "Aw ...!" teriakku, yang hampir jatuh kembali.

Alex spontan menahan tubuhku. Desir angin berbisik lembut, menciptakan kegaduhan, empat mata saling bertatap, ada yang tercipta tanpa kata, ada yang terukir tanpa tetesan hujan.

"Lentik bulu matamu selalu menjadi hal yang terindah," bisik Alex.

Berbagi suami 09

Segera ku dorong tubuhnya yang mendekapku tanpa sekat. Kenapa jantung ini begitu gaduh? Kuatur ritme jantung ini. Aku terduduk di bahu parkiran. Sambil menahan sakit kaki yang terkilir. Alex mendekat dan jongkok, ia meraih pergelangan kakiku. Segera kutepis dengan menarik kaki kiri ku yang terkilir.

"Diamlah, aku akan mengurut kakimu yang sakit," pekik Alex.

Aku menatap wajahnya yang serius.

"Kita bukan muhrim bagaimana boleh kamu menyentuh kakiku?" seruku.

"Anggap aja aku Dokter yang tengah ngobatin pasien nya, apa seorang Dokter harus menjadikan semua pasien nya muhrim dulu? Baru ia bisa mengobatinya ...?" Protes Alex.

Kakiku di tarik oleh Alex, dan perlahan ia mengurut urat-urat pergelangan kakiku, tak henti aku meringis sambil menggigit jempol tanganku. Dan ia menarik pergelangan kakiku dengan tanpa aba-aba hingga bunyi dan itu sungguh luar biasa sakitnya. Hingga aku menjerit.

"Jangan gerak dulu, besok juga akan enakan. Ayo aku antar pulang," kata Alex sambil menatap mataku.

Kenapa tatapan matanya kini menciptakan debaran? Entah debaran apa, aku tak memahaminya.

"Tidak usah, aku bawa mobil sendiri, dan aku pun belum dapat buah dukuhnya'" ucapku.

"Dukuh? buat apa?" tanya Alex.

"Buat Sakila, dia lagi ngidam," jawabku singkat.

"Dukuh bukannya belum musim? Ada juga mungkin cuma di daerah tertentu," ucap Alex sambil memegang kepalanya.

Alex membeli air mineral dan aku duduk di samping minimarket, di abang-abang baso. Kuperhatikan beberapa orang lalu lalang membeli baso, kutarik napas panjang, karena bingung kemana lagi mencari buah dukuhnya.

"Dav, ini minum dulu ...," ucapnya sambil memberikan sebotol air mineral, "Mau baso?" lanjutnya menawari baso.

Berbagi suami 08

"Tidak, aku tidak lapar, aku harus mencari lagi buah dukuhnya, karena kalau belum dapat, aku tidak boleh pulang oleh Sakila," jawabku.

"Davira, dia itu ngidam atau mau nyiksa kamu sih!" hardik Alex, membuat pedagang baso melirik dan beberapa pembeli pun melihat ke arah kami.

"Maaf, barusan saya dengar lagi cari buah dukuh ya?" tanya seorang pembeli baso.

"Ia," jawabku.

"Di rumah saya ada, kebetulan kemarin mertua saya dari Lampung mengirim untuk istri saya yang lagi hamil," kata orang tersebut.
Kebetulan kah? Atau mungkin ini rencana ALLAH, yang memudahkan segala pencarianku dari pagi.

"Benarkah? jika boleh saya beli," ucapku penuh harap.

"Tidak usah beli, mari ke rumah saya, tapi rumah saya agak jauh dari sini," terangnya.

Aku pun di antar oleh Alex ke rumah orang tersebut. Mobil Alex tidak bisa masuk, karena memasuki gang kecil. Kamipun parkir di jalan. Kaki ku yang sakit tak kupedulikan yang penting buah dukuhnya aku dapatkan.

Kali ini aku tak menolak di papah oleh Alex.

Aku masuk ke dalam rumah yang sangat sederhana, teras tak berubin. Aku di persilahkan duduk di tikar lusuh berdebu.

"Yank, kemari ... ada tamu," panggil lelaki yang belum tahu siapa namanya.

Kulihat Alex, ragu-ragu akan duduk, namun kuberikan ia kode agar duduk. Alex paham dari bahasa mataku, ia pun duduk.

"Siapa yank?" tanya perempuan muda berdaster dari dalam kamar.

"Ini, ada yang mau buah dukuh, kita bagi ya sebagian, lagian kan buah dukuh yang ibu kirim dari Lampung banyak," bujuk lelaki itu kepada istrinya.

"Och iya boleh yank, sebentar aku ambil kan," ucap perempuan muda itu setelah salaman denganku juga Alex.

Ia keluar dari arah dapur dengan
sekeresek besar buah dukuh, lalu menyodorkan nya di hadapanku.

"Berapa?" tanyaku.

"Apanya?"

"Ini harga buah dukuhnya."

Berbagi suami 07

"Tidak usah, kami tidak menjualnya."

"Tapi."

"Sungguh, tidak usah kami tidak menjualnya, terlebih buat orang ngidam, karena saya pun tahu bagaimana susahnya mencari sesuatu buat orang ngidam itu, apa lagi jika menginginkan sesuatu dan tidak mampu membelinya, atau tidak ada barangnya" kata lelaki muda itu sambil berkaca-kaca.

Aku tanpa bicara mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan merah dan mengepalkannya ke perempuan muda tersebut.

"Tidak usah ...," tolaknya. "Masya ALLAH ini kan orang yang beberapa bulan lalu membelikan buah di kios buah itu," lanjutnya sambil memelukku.

"Maksudnya?" tanyaku bingung.

"Kakak ingat tidak, sekian bulan lalu, pernah membelikan buah untuk saya waktu di kios buah, saya masih ingat dengan cincin yang kakak pakai, waktu itu saya mencari kakak untuk mengucapkan terimakasih, tapi kakak sudah tidak ada di kios tersebut. Saya masih ingat kata penjual buahnya jika buah itu diberikan oleh perempuan bercadar, saya sempat melirik ke arah cincin tersebut di saat kakak memilih mangga," terangnya panjang lebar.

Subhanallah, aku tak pernah menyangka jika ALLAH selalu punya skenario yang indah.

"Ya ALLAH, jadi ini yang waktu itu membelikan istri saya buah, saya sangat berterimakasih, karena waktu itu saya benar-benar lagi tidak punya uang, sehingga saya tidak mampu membelikan istri saya buah pir, tapi Ukhty ini membelikan tanpa kami sempat mengucapkan terimakasih," lanjut suaminya.

"Oh jadi tanpa di sengaja kalian pernah saling bertemu sebelumnya," sela Alex yang sibuk dengan kameranya.

Aku pulang dengan membawa sekeresek buah dukuh. Dari Rani dan Rian, ya nama pasangan muda itu Rani dan Rian. Keduanya menolak ketika kuberikan beberapa lembar uang. Namun tanpa mereka tahu aku menyelipkan uang di bawah tikar, yang kutambahi untuk membeli beberapa perlengkapan bayi.

Semoga mereka nanti menemukan uangnya. Tak pernah terpikir jika jalan cerita hari ini sebegitu indah, di saat keliling kesana kemari mencari Dukuh, ternyata kudapatkan dari seseorang yang dulu pernah kubelikan buah-buahan.

***

"Assalamualaikum," ucapku sambil menenteng buah dukuh, masuk ke rumah dengan kaki yang sangat ngilu.

"Sayang! Kamu darimana saja baru pulang? Terus kaki kamu kenapa?" Mas Ilham mencecar dengan beberapa
pertanyaan.

"Yunda dapat tidak buahnya?" tanya Sakila.

"Yank ... aku habis mencari dukuh ...," jawabku. "Iya dapat Dinda," lanjut ku sambil memberikan keresek isi dukuh tersebut.

Berbagi suami 03

Sakila langsung memakan Dukuh tersebut dengan sangat nikmat, sementara mas Ilham mengompres kakiku yang terkilir. Mas Ilham bertanya kenapa dengan kakiku, aku bilang terpeleset, dan aku tidak menceritakan nya jika tadi aku kejambret dan di tolong oleh Alex. Aku tak ingin ada kesalahpahaman.

***

Sakila anteng nonton infotainment. Sedangkan aku mempersiapkan buat sarapan.

"Yunda, coba lihat ada yang viral di tv!" seru Sakila.

"Apanya yang viral?" tanyaku.

"Ada yang sekian bulan lalu pernah membelikan buah, dan sekian bulan kemudian orang itu memberikan buah tanpa di sengaja, hidup ini kadang penuh kejutan ya Yunda," ucap Sakila.

Aku mengerutkan kedua alisku. Bukannya itu ...? Akh sudahlah.

"Bukannya itu gambar kamu?" tanya Mas Ilham mengagetkanku.

"Apanya yank?" tanyaku.

"Itu, video yang di tv itu! Itu kamu kan!" Seru Mas Ilham.

Masalah datang kembali, kenapa bisa ada video itu masuk tv? Kenapa bisa viral? Otakku mulai cenat cenut kembali. Bagaimana aku menjelaskan nya ke Mas Ilham?

Bersambung ke Apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai